Gejala Dari Jelaga: Repost Kegelisahan Hati Di Tanah Serambi Mekah

Mendengarkan lagu ini lagi, setelah lama diam di folder komputer, menjelang pemilu di sini, terasa macam tahun-tahun berlalu seperti datang menjenguk kembali. Mungkin karena dada sesak dipenuhi jejal kabar tragedi. Dan hasrat serupa mata pena belum berkarat untuk mengabarkan situasi tanah ini, masih menolak pasrah pada kondisi. Atau mungkin rasa hutang nazar untuk tetap waras berdiri meski sendiri dalam menolak membarter bisik hati dengan ketakacuhan hari-hari, masih menagih di dalam diri. Biar pun makin menipis amunisi rima kata serupa menipis lambung berasam menolak kopi tereguk seperti biasa. Tak ada lagi galang pijakan pada hulu waktu konon membidani zaman. Zaman kini membidani segala hulu waktu, memaparkan sajian adegan tipu-menipu.

Di atas bubungan tigapuluhan, lamunan sudah tak lagi sama berbentuk angan dan harapan dibanding penglihatan dan desak tak terelak untuk memapankan kehidupan. Berpikir ulang untuk meluncur dalam deru tualang seperti para lajang, seperti konon-konon bakat kaki jauh menjalang bagi sesiapa sama-sama dilahirkan sungsang. Apa tersisa cuma sedikit suara dan baris aksara di papan ketikan untuk mengutuk setiap kutukan, untuk mengancam setiap ancaman. Di hari-hari ketika deretan nisan para kombatan cuma jadi obaralan bujukan untuk mencoblos suara Partai Angkara di hari pemilihan, setelah melacurkan marwah dengan partai-partai para bajingan nasional dan berpeluk maaf murah meriah dengan jendral komandan pembantaian massal.

Tapi masih lahir dan lahir kembali bayi-bayi yang menangis mengajarkan kesadaran ‘gimana cara sisa nyala api tak pupus menari, dan sisa-sisa hasrat tak putus regenerasi. Biar pun tak ada lagi pembaruan janji dan kepalan jemari. Selama bara-bara tersulut masih berbagi api. Menghisap racun nikotin berasap pekat untuk dilepaskan jadi kalimat-kalimat berisi racun bagi pengkhianat dua kali lipat. Sebelum nanti akumulasi racun tersisa reguk sendiri dan terima sukma meninggalkan jasad.

Kau dan aku tahu, bahwa hari-hari kita tak sama seperti dulu. Perlahan menjadi seperti mereka pernah kita kecam setajam sembilu: berpangkal dari kehendak perpanjangan remah halal di mulut anakmu, lalu setapak-demi-setapak makin berjarak dari kenaifan masa lalu, mulai terbiasa untuk mencari lebih dan lebih dan lebih dan lebih dan lebih dari sekedar perlu. Meski anak belum menuntut tinggi dan masih qana’ah keikhlasan istri. Kita sama tahu bahwa pahlawan tak lagi tiba dalam kebersahajaan Abdullah Syafi’i, atau keteguhan Ishak Daud, melainkan dalam wajah cukong politisi dari Tusam Hutan Lestari dan para pelobi blok-blok migas di atas laut. Tanah ini masih basah menagih hutang mata dibayar mata, masih belum berdiri desak kebenaran dan rekonsialiasi menjadi komisi. Sungai-sungai masih menagih suara pernah hilang di ujung desa, kini mengeruh kembali menelan suara hilang opsi di ujung senjata: demi obralan kemerdekaan menjadi iming-imingin fiktif di depan kotak suara.

Belum terlalu khatam kita membaca semua analisa dan deret neraca. Tapi masih tajam firasat meraba segala muslihat. Yang tiba pada malam-malam kelam dimana PLN macam bersekutu dengan para siluman merakit kegelapan mencekam. Di malam-malam pemadaman kala kerabat dihabisi 42 selongsong di tikungan jalan. Kita sama-sama masih tidur dengan kelopak setengah terbuka. Pancaroba angkasa memaksa waras-waras tetap terjaga, Meski bukan murni lagi demi angan dan harapan idealisme kacangan, tapi demi perpanjangan harapan pada anak-anak di masa depan. Setengah mati menjaga hasrat dan kesetiaan tetap menyala, ketika kewarasan cuma bisa mencari suaka melalui paket data dengan kuota. Agar tetap ingat tentang petaka dalam kurun waktu singkat pernah merubah uji musibah menjadi donasi berkah. Pernah merubah alam-alam bawah sadar terbiasa dengan jasad-jasad menghampar. Dan masih ubahan kesadaran menolak menukar sejarah dengan murah pemaafan, dengan mudah pelupaan.

Serupa janji pada Razakami jika diri tak ada lagi di suatu hari nanti: semua rekam-jejak tanah ini kita tulis pasti. Sehingga kala sejarah ditinggal mati, segala sumpah makian janji akan ditakar kembali, dengan seadil-adil janji Tuhan menjadi iman, saat matahari dan sangkalala sudah bertukar posisi di hari penghakiman.

*tulisan ini merupakan status di facebook sendiri, tertanggal 31 Maret 2014. Dipublikasi ulang untuk catatan cadangan*

1 thoughts on “Gejala Dari Jelaga: Repost Kegelisahan Hati Di Tanah Serambi Mekah

Komenlah sebelum komen itu dilarang.